Beranda | Artikel
Tafsir Al-Fatihah (7)
Minggu, 11 November 2012

Faidah Ayat Pertama

Yang dimaksud pujian –al-Hamdu– di sini adalah sanjungan yang diiringi dengan rasa cinta dan pengagungan [1] Ayat ini mengandung pilar ibadah yang sangat agung yaitu al-Mahabbah/rasa cinta. Karena Allah adalah al-Muhsin -yang melimpahkan segala kebaikan- dan Dia juga al-Mun’im -yang mencurahkan semua nikmat- maka sebagai konsekuensinya adalah hanya Allah yang layak dicintai dengan puncak kecintaan yang tertinggi [2]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allah. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [16] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [43])

Penetapan bahwasanya hanya Allah ta’ala yang berhak mendapatkan pujian yang sempurna karena imbuhan al dalam kata al-Hamdu menunjukkan makna mencakup keseluruhan bagiannya [3]

Pujian (al-Hamd) berbeda dengan syukur. Karena pujian itu diberikan sebagai tanggapan atas sifat-sifat muta’addiyah (yang memiliki pengaruh terhadap objek) maupun sifat-sifat lazimah (yang hanya melekat pada yang disifati, tidak mempengaruhi objek). Adapun syukur diberikan sebagai tanggapan atas sifat-sifat muta’addiyah semata. Selain itu pujian diwujudkan melalui ucapan saja, sedangkan syukur diwujudkan dalam bentuk keyakinan hati, ucapan, dan amal anggota badan [4]

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13).

Penetapan pujian kepada Allah dari segala sisi atas kesempurnaan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya [5]. Ayat ini menunjukkan bahwa yang berhak mendapatkan segala bentuk pujian hanyalah Allah ta’ala karena Dia lah yang memiliki segala kebaikan yang sempurna dan berbuat ihsan/kebaikan secara menyeluruh [6]

Allah senantiasa dipuji dikarenakan kesempurnaan dzat-Nya, keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta keagungan perbuatan-perbuatan-Nya. Selain itu Allah juga dipuji karena anugerah nikmat yang dicurahkan oleh-Nya kepada seluruh makhluk-Nya [7]

Allah juga terpuji karena ketetapan hukum-Nya, yaitu hukum kauni -hukum yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya di dalam dunia ini- demikian juga hukum syar’i -yang berupa ketetapan hukum ilmiah dan amaliah bagi mukallaf/orang yang dibebani syari’at- begitu pula dalam hal hukum ukhrawi yang ditetapkan oleh-Nya berupa balasan dan hukuman bagi hamba-Nya di alam akherat [8]

Dalam segala kondisi Allah tetap berhak mendapatkan pujian. Oleh sebab itu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sesuatu yang menyenangkan beliau maka beliau pun berdzikir, ‘Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat’ artinya: “Segala puji bagi Allah yang dengan curahan nikmat-Nyalah maka segala kebaikan menjadi sempurna”. Demikian juga apabila beliau menjumpai keadaan yang sebaliknya (tidak menyenangkan) maka beliau berdzikir, ‘Alhamdulillahi ‘ala kulli haal’ artinya: “Segala puji bagi Allah dalam kondisi apapun” [9]

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 2999).

Allah memuji diri-Nya sendiri, yang di dalamnya tersirat perintah kepada hamba-hamba-Nya untuk memuji-Nya [10].

Rabb adalah Dzat yang mentarbiyah hamba-hamba-Nya. Dia lah yang menciptakan mereka dan kemudian menunjuki mereka kepada kemasalahatan dirinya. Selain itu, Rabb juga bermakna yang menguasai dan mengatur serta memperbaiki keadaan [11]

Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakanku.” Akan tetapi apabila dia diberi ujian dengan dibatasi rizkinya maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.” Sekali-kali tidak…” (QS. al-Fajr: 15-17)

Penetapan tauhid rububiyah [12]. Rububiyah Allah mencakup semua makhluk [13]. Ayat ini –al-Hamdu lillahi Rabbil ‘alamin– menunjukkan keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya [14]. Rububiyah Allah itu mencakup tiga hal pokok, yaitu: mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta [15].

Meskipun demikian, pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah cukup, tetapi harus diiringi dengan tauhid uluhiyah. Tauhid rububiyah merupakan landasan dan dalil untuk menundukkan orang-orang yang menentang tauhid uluhiyah [16]

Penetapan keesaan Allah dalam hal penciptaan alam semesta, pengaturan, dan pemberian nikmat, sekaligus menunjukkan betapa besarnya kebutuhan seluruh makhluk kepada-Nya [17]. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, kalian adalah orang-orang yang sangat membutuhkan kepada Allah. Adapun Allah, Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Allah telah menanamkan fitrah di dalam hati umat manusia untuk meyakini keberadaan Allah Yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini [18]

Bantahan bagi paham wahdatul wujud -kesatuan antara Allah dengan makhluk- [19]

Bantahan bagi kaum atheis yang mengingkari adanya pengatur alam semesta ini [20]

Penetapan tarbiyah Allah kepada makhluk-Nya, baik yang bersifat umum -mencakup seluruh makhluk- maupun yang bersifat khusus -yang diberikan hanya kepada wali-wali-Nya- [21]

Penetapan Allah sebagai satu-satunya yang berhak untuk diibadahi [22]. Karena Allah satu-satunya pemelihara seluruh alam semesta ini maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi, tidak ada yang berhak menerima ibadah selain Allah [23]

Allah  mendahulukan sifat uluhiyah -yang terkandung dalam kata Allah- daripada sifat rububiyah -yang terkandung dalam kata Rabb-, hal ini dimungkinkan karena 2 alasan: Pertama, karena kata Allah itu adalah nama khusus bagi-Nya yang disifati oleh Asma’ul Husna yang lain sehingga dikedepankan. Atau yang kedua, karena orang-orang yang didakwahi oleh para rasul adalah golongan orang-orang yang menolak keesaan Allah dalam hal uluhiyah-Nya [24]

Penetapan nubuwwah (kenabian) dan kebutuhan umat manusia terhadapnya. Karena tidak mungkin Allah sebagai Rabbul ‘alamin meninggalkan umat manusia dalam keadaan sia-sia; tidak menunjukkan kepada mereka apa yang bermanfaat dan apa yang membahayakan dirinya [25]

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih menyukai pujian kepada dirinya melebihi Allah. Oleh sebab itu Allah memuji diri-Nya sendiri. Dan tidak ada yang lebih pencemburu melebihi kecemburuan Allah. Oleh sebab itu Allah mengharamkan perbuatan keji.” Dalam salah satu riwayat juga disebutkan, “Dan tidak ada yang lebih suka memberikan udzur/toleransi melebihi Allah. Oleh sebab itu Allah menurunkan kitab dan mengutus para rasul.” (HR. Bukhari no. 4634 dan Muslim no. 2760)

Catatan Akhir:

  1. Lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 8, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 7
  2. Lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12
  3. Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9
  4. Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 8, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/29]
  5. Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34]
  6. Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 26
  7. Lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12 dan Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 23
  8. Lihat Jam’ul Mahshul fi Syarh Risalah Ibnu Sa’di fi al-Ushul, hal. 13-14
  9. Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9
  10. Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 9, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/29]
  11. Lihat adh-Dhau’ al-Munir [1/24], Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/31]
  12. Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/37]
  13. Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9
  14. Lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 8
  15. Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9
  16. Lihat adh-Dhau’ al-Munir [1/36]
  17. Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34]
  18. Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 28
  19. Lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 51
  20. Lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 9, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 27
  21. Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34]
  22. Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/33,37]
  23. Lihat Risalah Tsalatsat al-Ushul dalam Majmu’ah at-Tauhid, hal. 20
  24. Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9
  25. Lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 7-8


Artikel asli: http://abumushlih.com/tafsir-al-fatihah-7.html/